Menu

Mode Gelap

Pendidikan · 4 Nov 2022

Tingginya Tingkat Putus Sekolah, Evaluasi Pendidikan Harus Segera Dilakukan


 Anggota Komisi X DPR Dr. H. Fahmy Alaydroes, dalam The SDGs National Seminar Series dengan topik Identifikasi Penyebab Putus Sekolah dan Implementasi Peraturan Wajib Belajar Rabu (2/11). Foto/Dok/BCF
Perbesar

Anggota Komisi X DPR Dr. H. Fahmy Alaydroes, dalam The SDGs National Seminar Series dengan topik Identifikasi Penyebab Putus Sekolah dan Implementasi Peraturan Wajib Belajar Rabu (2/11). Foto/Dok/BCF

Pendidikan, Beritaplano – Pendidikan merupakan sektor penting yang mempengaruhi kemajuan suatu negara. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang perlu mendapat perhatian. Semua negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil dan untuk mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua. Sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih menghadapi beberapa permasalahan yang kompleks mulai dari tataran politik hingga pelaksanaannya. Hal ini dianggap sebagai salah satu penyebab anak-anak di Indonesia masih putus sekolah.

banner DiDisdik

Hal tersebut disampaikan oleh Habib Dr.Fahmy Alaydroes, M., M.Ed, Anggota Komisi X DPR, dalam The SDGs National Seminar Series, Rabu (2/11/2022). Ia menjelaskan bahwa angka putus sekolah di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama dan perlu mendapat perhatian.

“Kita perlu waspada dan memperhatikan angka putus sekolah karena banyak dari anak-anak kita tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan seharusnya mereka dapatkan. Dia mengatakan dalam siaran pers, Kamis (3/11/2022).

Data yang diberikan oleh Fahmy menunjukkan bahwa angka putus sekolah menyentuh 4,3 juta anak di Indonesia pada tahun 2019. Angka ini termasuk anak-anak yang tidak pernah bersekolah. Masalah putus sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor, namun yang paling dominan adalah faktor kemiskinan.

Baca: 29 Obat Sirup Ditarik Terkait Gangguan Ginjal Akut Misterius, Apa Tanggapan Kemenkes?

banner Dinas Kesehatan

Mungkin pemerintah memberikan dana keringanan seperti Kartu Indonesia Pintar, namun nyatanya ada faktor lain yang disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang kurang baik. Misalnya mentalitas orang tua yang menganggap lebih baik bekerja daripada belajar. Pola pikir ini ada karena mereka hidup dalam lingkup kemiskinan. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme untuk mengidentifikasi alasan, menjangkau keluarga dan memberikan penyuluhan kepada anak.

Perwakilan Kemendikbudristek RI yang menghadiri The SDGs National Seminar, Catur Budi Santosa, juga menyatakan bahwa ada faktor supply and demand untuk mengidentifikasi anak putus sekolah di Indonesia.

Jadi, kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan putus sekolah. Yang membuat anak-anak putus sekolah adalah di beberapa daerah masih kurangnya pendidikan dan pelatihan yang terjangkau, kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat, kemudian faktor demandnya adalah adanya hambatan ekonomi dan kemiskinan yang menjadi faktor utama, sehingga hal ini juga mempengaruhi anak penyandang disabilitas, serta faktor sosial budaya yaitu adanya persepsi keliru tentang pendidikan seperti: Sebagai contoh, beberapa orang melihat pendidikan sebagai hal yang tidak penting, keyakinan berbasis gender berdasarkan norma sosial, kesulitan ekonomi yang membuat anak-anak lebih memilih bekerja daripada sekolah, dan pernikahan anak sering dilihat sebagai hal yang biasa.

Dalam dunia pendidikan, dimana ada kondisi yang membuat seseorang menolak sekolah dan memilih berhenti sekolah. Kalau kita lihat istilah berhenti sekolah, banyak video yang menunjukkan mengapa mereka berhenti sekolah,” kata Anggi.

“Kurangnya penekanan pada pendekatan budaya, kurangnya program berkelanjutan untuk mengevaluasi hak belajar anak. Kesepahaman guru dan kepala sekolah dalam menangani siswa juga menjadi asal muasal adanya putus sekolah ini. Namun selain itu, ada penelitian atau pengetahuan bahwa pertumbuhan ekonomi pedesaan berbanding terbalik dengan minat anak-anak untuk melanjutkan studinya,” jelas Agung.

Baca: Wajib Dicoba! Ini Manfaat Gamifikasi dalam Proses Belajar Anak

“Jadi apabila ada sektor ekonomi yang dapat digali untuk mendapatkan penghasilan, di situ minat anak untuk studi menjadi lebih rendah, kemudian ada pula persepsi jika sekolah dibangun agar dapat bekerja (mencari uang) maka potensi anak melanjutkan studi akan gagal, sehingga branding sekolah membuat anak mudah bekerja saat ini gagal,” tambahnya.

Dengan tantangan baru yang mengarah pada angka putus sekolah, diperlukan penyelesaian multisektor dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menangani permasalahan pendidikan ini.

Bakrie Center Foundation melalui The SDGs National Seminar Series yang sudah berlangsung dari 31 Oktober 2022 hingga 3 November 2022, bertujuan untuk membantu atau memfasilitasi berbagai pihak agar terciptanya rekomendasi kebijakan untuk mengatasi fenomena putus sekolah di Indonesia. (*/SA)

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 44 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Anggota Komisi X Ferdiansyah Meminta Roadmap Pendidikan Indonesia

4 November 2022 - 17:08

Ferdiansyah Meminta Roadmap Pendidikan Indonesia

Siap Peduli Pendidikan Indonesia, Indodax Bekerjasama Dengan Ayobantu

4 November 2022 - 16:45

Bangun Fasilitas Pendidikan, Indodax Gandeng Ayobantu

Wajib Dicoba! Ini Manfaat Gamifikasi dalam Proses Belajar Anak

20 Oktober 2022 - 15:58

Gamifikasi Dalam Pendidikan

Kerjasama Bilateral Indonesia Singapura Sepakati Pengembangan Kompetensi Mahasiswa

20 Oktober 2022 - 15:36

Kerjasama Bilateral 2 Negara Sepakati Pengembangan Mahasiswa

Tak Kunjung Cair, 2.700 Guru SD Dan SMP Palembang Menanyakan Uang Insentif

20 Oktober 2022 - 14:56

Uang Insentif Guru

Orang Indonesia Memiliki IQ Peringkat 130 Dunia, Bagaimana Kondisi Pendidikan di Indonesia?

4 Oktober 2022 - 12:52

Orang Indonesia Memiliki IQ Peringkat 130 Dunia
Trending di Pendidikan