Liputan : Eli
PLANO, Parigi Moutong – Pansus III yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten Parigi Moutong tengah menggodok usulan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang retribusi dan pajak daerah bersama sejumlah OPD penghasil. Kali ini, untuk ketiga kalinya, Pansus yang diketuai H.Suardi itu membahas retribusi bersama Dinas Perikanan dan Kelautan.

H.Suardi yang didampingi Leli Pariani dan Umi Kalsum selain menghadirkan Diskanlut, juga menghadirkan bagian Kumdang membahas retribusi sektor perikanan tangkap dan budidaya, di ruang rapat DPRD, senin (29/6/2020).
Pada pembahasan tersebut, Leli Pariani menandaskan, Diskanlut harus memperjelas berapa jumlah perusahaan yang berinvestasi dan telah action di Kabupaten Parigi Moutong agar bisa dihitung asumsi pendapatan daerah. Dia juga menyoroti, perusahaan asing PT.Tom yang melakukan penangkaran bibit mutiara di teluk Tomini namun tidak memberikan income yang sepadan untuk daerah.
“Dua tahun kita tidak mengambil retribusi dari PT Tom, lalu daerah dapat apa?. Apakah kita tahu berapa jumlah bibit yang ditebar disitu? meski pembesaran bibit mutiara bukan di wilayah kita tetapi dia memelihara bibit disini, harusnya daerah dapat keuntungan,” keluhnya.
Terkait itu, Kepala Bidang Budidaya pada Diskanlut Made Kornelius menjawab, ada dua perusahaan besar yang telah berinvestasi untuk tambak di wilayah Tomoli dan Sijoli. PT Esa Putli Perkasa, menggarap 15,5 Ha dan sudah penebaran benih. Sedangkan kata dia, untuk PT Parigi Aqua Cultura Prima di Moutong menggarap 250 Ha yang saat ini masih dalam tahap mengerjakan konstruksi tahap satu.

“PT Esa Putli Perkasa bulan depan sudah panen pertama. Sekarang sedang lakukan beberapa penjajakan, survey target akan buka 1000 Ha. Mereka ini sudah ada ijin legalitas. Kalau Parigi Aqua Cultura Prima September penebaran benih untuk 58 kolam, 1 kolam 36 x 36 ukurannya,” jelasnya.
Kornelius menyampaikan, ke depan PAD yang bersumber dari budidaya perikanan akan menjadi potensi pendapatan yang luar biasa untuk daerah. Namun kata dia, perlu ada aturan yang mendasar agar tidak terjadi pungli, jika daerah menetapkan persentase retribusi dalam Raperda yang tengah dibahas.
“Terkait dengan usulan retribusi pada sektor perikanan tangkap, yang jadi target adalah pembeli bukan nelayan, presentase 1 persen. Sedangkan untuk produksi budidaya 0.5 persen. Kita punya banyak lahan, secara teknis memenuhi syarat tapi masyarakat belum memberikan dukungan. Padahal potensi udang, 1 Ha produksi sampai 40 ton. Tapi masyarakat belum percaya untuk menyerahkan kepada perusahaan dengan pola kerjasama tambak intensif berkelanjutan,” bebernya.
Terkait itu, H Suardi juga menegaskan bahwa untuk perikanan tangkap, pemerintah harus menyiapkan fasilitas barulah boleh menuntut retribusi dari masyarakat atau pengusaha.
“Fasilitas apa yang diberikan pemerintah sampai kita berhak menarik retribusi. Kalau bicara TPI, tidak semua TPI berfungsi. Coba itu dulu yang dimatangkan baru kita bahas retribusi lain yang baru diusulkan, contoh budidaya kepiting bakau,” kata dia.
Sementara itu, Arianto mewakili Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu yang sebelumnya juga berasal dari Dinas Pendapatan Daerah selaku OPD pengusul Raperda tersebut mengatakan, dasar dari pengusulan Raperda itu adalah Undang-Undang 28 tahun 2019.
“Saya minta kita semua baca dulu UU 28 tahun 2019 agar kita memahami mana pajak dan mana retribusi, agar sebelum kita menetapkan nanti tidak akan ada masalah atau malah disebut pungli. Disitu jelas, sektor mana yang boleh dan tidak boleh kita tarik teribusi. Masalahnya adalah kita belum punya Perda Investasi,” tutupnya.
Pantauan media ini, pembahasan Raperda retribusi dan pajak daerah bersama Diskanlut belum menemukan satu kesimpulan, hingga belum dianggap final. Masih akan ada pembahasan selanjutnya tentang besaran dan jenis-jenis objek yang akan dikenakan retribusi.